Peranan Nahdlatul ulama pada masa penjajahan Belanda dapat dilihat pada
Muktamar Nahdlatul Ulama ke 2 di Banjarmasin pada tahun 1936. pada saat itu
ditetapkan kedudukan Hindia Belanda (Indonesia) sebagai Dar Al-Salam, yang
menegaskan keterkaitan Nahdlatul Ulama dengan nusa bangsa. Pada perkembangan
selanjutnya, tokoh – Tokoh Nahdlatul Ulama mulai terlibat secara aktif dalam
dunia politik. Hal ini terlihat pada sat tokoh – tokoh Nahdlatul ulama ikut
memprakarsai lahirnya majelis islam A’la Indonesia (MIAI) pada tahun 1937, yang
kemudian dipimpin oleh K.H Abdul Wachid Hasyim. MIAI pada dasarnya bergerak di
bidang keagamaan, namun dalam setiap aktivitasnya sarat denbgan muatan politik.
Pada masa penjajahan Belanda sikap Nahdlatul Ulama jelas, yaitu
menerapkan politik non cooperation (tidak mau kerjasama) dengan belanda. Untuk
menanamkan rasa benci kepada penjajah. Para ulama mengharamkan segala sesuatu
yang berbau belanda, sehingga semakin menumbuhkan rasa kebangsaan dan anti
penjajahan. Hal ini terlihat ketika Nahdlatul Ulama menolak mendudukkan
wakilnya dalam Volksraad (DPR masa belanda) Disamping itu para ulama Nahdlatul
Ulama juga memberikan fatwa kepada umat islam untuk tidak meniru pakaian model
belanda, seperti celana panjang atau pakaian berdasi, dengan sebuah landasan
(qaul) Artinya : barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia menjadi bagian
dari mereka. Nahdlatul Ulama mengeluarkan pernyataan yang dikenal dengan
Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 untuk mempertahankan kemerdekaan
Republik Indonesia adapun isi resolusi jihad tersebut adalah :
1. Kemerdekaan RI yang telah diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945
wajib di pertahankan.
2. Republik Indonesia sebagai satu – satunya pemerintah wajib dibela dan
dipertahankan
3. Umat Islam Indonesia terutama warga Nahdlatul Ulama wajib mengangkat
senjata melawan penjajah Belanda dan kawan – kawannya yang hendak menjajah
Indonesia kembali
4. Kewajiban itu adalah suatu jihad yang menjadi kewajiban Umar Islam
yang berada dalam radius km tersebut. Resolusi jihad yang dikeluarkan oleh
Nahdlatul Ulama berdampak besar di Jawa Timur. Pada tanggal 10 Nopember 1945 di
Surabaya. Dalam rangka mempertahankan kemerdekaan tersebut terbentuklah
organisasi – organisasi perlawanan terhadap belanda antara lain Hisbullah dan
Sabilillah KH. Abdul Wahid Hasyim dan beberpa ulama lain masuk sebagai anggota Chuo
Sangi-in (parlemen buatan jepang).Jepang mengizinkan Nahdlatul Ulama
diaktifkan kembali dan pada bulan September 1943 permintaan tersebut
dikabulkan.
Pada akhir Oktober 1943 Perjuangan diplomasi terus ditingkatkan melalui
berdirinya wadah perjuangan baru bagi umat Islam Indonesia yang bernama
(Majelis Syura Muslim Indonesia) MASYUMI. Masyumi adalah kelanjutan dari MIAI
yang di bubarkan jepang. Sementara di bidang politik, selain aktif dalam
Masyumi KH. Abdul Wahid Hasyim juga duduk sebagai pimpinan tertinggi Shumubu
(kantor urusan agama) menggantikan KH. Hasyim Asy;ari Shumubu pada awalnya
dipimpin oleh kolonel Horrie yang bertugas mengawasi secara ketat organisasi –
organisasi islam. Terutama terhadap pendidiklan Islam. Sikap menentang keras
Nahdlatul Ulama terhadap Jepang terlihat ketika ada perintah untuk melakukan
seikare (ritual penghormatan kepada Tenno Heika dengan posisi siap
membungkukkan badan 90 derajat semacam rukuk dalam sholat). KH. Hasyim Asy’ari
menyerukan kepadaseluruh umat Islam khususnya warga Nahdlatul Ulama untuk tidak
melakukan seikere karena hukumannya haram..
KH. Abdul Wahid Hasyim tidak henti – hentnya mengadakan kontak dengan para tokoh nasionalis guna mendesak Jepang segera mewujudkan janji kemerdekaan yang pernah diucapkan. Perjuangan mereka berhasil hingga pada tanggal 29 April 1945 dibentuk Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai Badan Penyelidik usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Selanjutnya KH. Abdul Wahid Hasyim juga terlibat aktif dalam perumusan konstitusi dan dasar negara bersama tokoh lain yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, muhammad yamin, achmad Soebardjo, Abikoeseno Tjokrosoejoso, H. Agus Salim AA Maramis dan Abdul Kahar Muzakkir yang disebut panitia sembilan. Mereka membubuhkan tanda tangannya pada piagam jakarta pada tanggal 22 Juni 1945. Preambule atau pembubukan Undang – Undang Dasar dalam naskah pembukaan itulah disebutkan bahwa pancasila menjadi dasar negara Indonesia. Telah menjadi salah satu bukti bahwa Nahdlatul Ulama memiliki semangat nasionalisme yang t
0 komentar:
Posting Komentar